Judul: Kursi Kosong
Genre: Romance, Slice of life, Drama
Rating: 15+
Perhelatan akbar, sebuah pertemuan yang kurasa telalu agung untuk kuhadiri sendiri. Mimbar kaca yang ditutup oleh tirai-tirai berwarna emas. Kursi-kursi putih yang sudah direservasi dengan tag nama yang diketik menggunakan font tegak bersambung. Aku berputar, berkeliling menyusuri tempat duduk yang rencananya akan menjadi tempat bersandarku selama di sini. Siapa yang mengundangku? Tanyaku dalam hati.
---
Aku termangu diam, menatap dalam-dalam sebuah kursi kosong yang rencananya akan ada seseorang yang hendak mendudukinya. Kursi itu terbuat dari potongan kayu, dipernis licin dan semuanya memiliki ukuran yang sama, tapi aku lebih fokus untuk menatap kursi kosong didepanku. Dia yang berjanji untuk duduk di hadapanku dan mengajakku untuk bercengrama dan bersenda gurau.
Aku siapanya dia?
Bukan siapa-siapa, karena mungkin aku adalah orang yang paling memiliki waktu lowong dibanding yang lainnya. Aku yang masih bisa berleha-leha ditengah buruan tugas. Mungkin karena sebab itu dia ajak aku kesini. Entah apa yang akan ia lakukan jika nanti ia datang. Aku sedikit bosan menunggunya, sudah lebih dari 15 menit dari waktu yang dijanjikan padaku.
Bahuku ditepuk lemah oleh seseorang, saat aku menoleh dan melihat kearahnya, ya.. dia adalah orang yang mengajakku ketempat ini. Bibir cokelat mudanya tersungging keatas, senyumnya dikembangkan selebar-lebarnya. Sekilas tampak olehku, senyumannya lebih manis dan ramah. Tidak seperti hari-hari biasanya.
Gina, maaf ya lama! Tadi lumayan macet.
Ia dengan mudah mengujarkan kata itu sambil memasang wajah tak tersalah. Kunilai kedisiplinannya adalah lima koma tiga.
Oke, gak apa! Jawabku acuh padanya.
Matahari terik semakin menyemburkan energi panasnya, peluh pun berkucuran sebesar butir-butir gerimis. Ia memanggil pelayan restoran, memintanya membukakan parasol yang tertancap dimeja. Sekarang rasanya sudah agak teduh, pada akhirnya keringat itu hilang dengan sendirinya karena tersapu oleh hembusan angin.
Gina, bagaimana masakannya? Tanyanya sekedar basa-basi.
Enak, menurutmu? Balas singkatku.
Enak? umm, sebenarnya yang membuat rasa makanan ini enak di lidahku itu karena dihadapanku ada seorang gadis cantik yang bernama Gina Jelasnya menggodaku.
Kamu sudah pintar menggombal ya, Bis!
Jangan panggil Bis-nya doang, aku bukan angkutan umum. Panggil gini: Kamu sudah pintar menggombal ya, Wibis!
Hahaha, panggil namamu saja harus repot-repot
Reflek, kupukul tangannya yang sedang beristirahat diatas meja. Ia malah membalas dengan tertawa.
Sekarang Gina suka mukul-mukul ya. Huuhuuhuu Gina nakal
Kamu itu nyebelin, masa gak sadar!
Iya, Wibis sadar kalau Wibis suka nakal sama Gina. Gina kan anak baik, Cuma Wibis seneng gangguin Gina, ya kaaaan?
Ia melakukan monolog, dengan ekspresi bak pelawak yang kurang honor, Ia berpura-pura berubah menjadi diriku dan diri dia sendiri. Sekarang ku tepuk lebih keras tangannya. Monolog itu terhenti, lalu..
Cuma Gina yang bisa menjadi Gina sendiri Celetuknya tiba-tiba.
Kan memang seharusnya begitu, Wibis! Jawabku meledak-ledak.
Ah, iya..
Aku melanjutkan untuk memakan sea food yang tersisa lumayan banyak, begitu juga dengan Wibis.
Jadi, kenapa kamu ngajak aku makan kesini, Bis? Tanyaku penasaran.
Aku cuma.. Umm, habisin dulu deh makanannya. Entar aku ngomong yaa..
Menghabiskan makanan dalam jumlah porsi cukup besar itu membutuhkan waktu yang agak lama. Aku dan dia benar-benar diam, sedikit banyak aku tahu tabiat Wibis, ia sangat sopan, mengerti tata krama yang baik. Sesekali aku menatap ke arah pantai yang yang berada di sebelah kiri ku, ombaknya yang mendebur sedang berusaha memecah karang-karang kecil. Aku menyukai pantai ini. Begitu tenang mendengar perlahan desiran angin yang melewatiku.
Akhirnya, selesai juga Komentar Wibis yang terlihat kekenyangan.
Nah, Jadi mau ngomong apa, cepetan! Penasaran dari tadi nih! Ancamanku seakan menusuk perasaan Wibis seketika itu.
Serius Gin, mau denger?
Ya udah, kalau gitu aku pulang deh!
Eh, jangan. Duduk-duduk! Ya aku ceritain sama kamu sekarang
Cepetan, ga pake lama..
Gina yang adalah aku, bukannlah seorang perempuan yang memiliki kesabaran banyak. Gina yang adalah aku, tidak terlalu suka dengan basa-basi semacamnya. Maka dari itu, pastinya Wibis juga tahu tentang ini karena aku dan Wibis sudah bersahabat cukup lama.
5 menit berlalu begitu saja, Wibis ragu-ragu dengan apa yang ingin Ia katakan. Ketiga kalinya tanganku mendarat, menepuk keras tangannya. Kutahu ia sedikit risih dengan tepukanku. Ia memulai pembicaraan, pembicaraannya tentang cinta.
Gin, menurutmu.. Apa aku cocok untuk berpacaran diumurku yang sekarang ini?
Dari ekspresinya, Wibis seakan-akan takut dan ingin menarik lagi pertanyaan yang baru saja ia katakan. Aku menghela nafas, memutar sedikit pikiran untuk menjawab pertanyaannya. Jujur saja, bila sekarang aku sedang sendirian di kamar, dan Wibis menanyakan pertannyan ini padaku lewat telepon, aku akan menertawainya habis-habisan. Karena Wibis sering mengaku kalau ia tidak pernah melakukan pacaran selama hidupnya.
Ya.. cocoklah. Kamu mahasiswa semester 4, umur hampir 20 tahun. Kamu mau menunggu sampai umur berapa biar cocok? Hehehe Kujawab pertanyaan Wibis dengan sedikit cengengesan, yang namanya sahabat pasti sering melakukan hal yang seperti ini, jadi rasanya tidak mungkin kalau Ia akan tersinggung.
Sekarang Wibis menatap kearah pantai yang ujung karangnya berbentuk cadas tajam, Ia menatap dengan serius sembari berpikir keras. Seperti didesak oleh keingintahuannya sendiri, rasa penasaran.. Ya, ada rasa penasaran yang besar berkecamuk dipikiran Wibis sekarang. Kubiarkan ia sejenak dengan pikirannya. Aku juga ikut menatap, tetapi menatap kesekeliling restoran ini. Tata kursi dan tempatnya sederhana, setiap sudut restoran ditanam lampu-lampu hias seakan jadi penanda batas antara restoran ini dengan gedung serbaguna yang berada di sebelahnya. Suasananya asri, karena ditumbuhi pohon-pohon pinus kecil dan parasol terbuka yang berwarna pastel. Terlarut dalam pujian untuk tempat makan bersuasana menyenangkan, Wibis mengagetkanku dengan pertanyaannya.
Gina, apakah boleh aku mempunyai pacar tetapi ia sahabatku sendiri?
Dengan cepat bibir Wibis mengatup, Ia sama sekali tidak berpengalaman dengan masalah percintaan. Ia begitu jujur dengan pertanyaannya. Ia mungkin kaget dengan rasa cinta yang ia rasakan sekarang, eh ta...tapi...?
Mempunyai pacar tapi dia sahabatku sendiri? Apa aku tidak salah dengar? Memang siapa saja sahabatnya Wibis? Terutama sahabat perempuannya. Daripada penasaran, kulontarkan pertanyaan yang ada dalam benakku.
Wibis mau pacaran sama siapa? Kubuat nada bicaraku sedikit lembut padanya.
...Sa..sa..sammaa.. Gina
Haa.. sontak rongga mulutku menganga, aku ingin menjawab tapi Ia memberikan keterangan dari pernyataannya tadi padaku.
Gina, maaf ya. Tapi aku gak bohong, sumpah! Aku gak tau gimana caranya nembak cewe, aku udah belajar tutorial dari buku, novel atau apalah. Ahh.. sumpah, mungkin ini kaku tapi aku gak tau harus gimana lagi...
Wajah Wibis memerah, tangannya gemetaran sekarang. Antara kaget, tingkah konyol dan kasihan bercampur aduk jadi satu. Aku harus menolak, menerima atau bagaimana Ya Tuhan?
Err... Wibis, kenapa kamu suka eh, mau pacaran sama aku? Kita kan udah sahabatan, apa itu gak cukup? Tanyaku sebisa mungkin agar tidak menyinggung perasaannya.
Aku, duh gimana ya jawabnya Ginaa. Aku gemeteran..
Reflek lagi, tanganku memegang tangan Wibis seolah aku sendang memberikan rasa nyaman pada Wibis untuk menjawab pertanyaanku. Ah, sekarang pikiranku benar-benar blank.
Tenang, tenang. Gak apa, jujur aja sama aku, Bis
Umm.. Gina itu baik, dari awal kita temenan sampai sekarang kita sahabatan, aku ingin jadi orang yang lebih spesial di mata Gina. Maaf ya kalau lebay, ini pertama kalinya aku bisa ngomong jujur tentang perasaanku langsung didepan orang yang aku sukai. Jadi gimana tanggapan Gina?
Semuanya terjadi sampai sejauh ini, apa aku harus mempertahankan titel persahabatan dengannya atau menjadikannya sebagai kekasih sementara yang kapan saja kata putus itu dapat terlontarkan. Aku ingin menjelaskan pada Wibis pelan-pelan, semoga saja Ia mengerti.
Aku pikir, sahabat sepertimu lebih penting untukku saat ini. Aku gak maksud apa-apa lo. Gini, kita berspekulasi kejadian buruknya aja. Kalau aku sama kamu punya hubungan terus kandas di jalan karena sebuah masalah atau salah paham, terus kita musuhan. Apa kita berdua bakal inget dengan kedekatan, keakraban, kebersamaan, canda-tawa kita, semuanya harus dilupakan gara-gara aku sama kamu udah gak ada hubungan lagi. Aku gak bakal bisa dan gak mau, itu bakal sakit rasanya. Kalaupun ada yang namanya mantan pacar, tapi gak akan pernah ada dalam hidupku yang namanya mantan sahabat. Wibis, pahamkan maksudku?
Wibis hanya menjawab dengan senyuman, getir. Aku memang tidak pandai merangkai kata-kata penolakan menjadi kata-kata yang halus atau sedikit halus. Aku menyadari itu sangat to-the-point, sekarangpun untuk mengucapkan kata maaf sepertinya tidak akan berpengaruh. Karena Wibis mengajakku pulang dan ia akan mengantarkan lalu menurunkanku dari kendaraannya tepat di depan rumah.
Diam. Diam. Terdiam, sampai di depan rumahku.
---
Kejadian kemarin masih berkecamuk dalam pikiranku yang sempit. Untuk 20 tahun, cara berpikir Wibis belumlah terlalu dewasa, dan disaat pertama kali rasa itu datang akulah yang menghancurkan keinginannya. Tapi bagaimana lagi, aku menengahi ego-nya dengan ego-ku sendiri, karena kupikir keputusanku merupakan keputusan yang paling baik daripada keputusannya.
Aku duduk di ruangan khusus yang posisi duduknya tidak dapat berpindah pada sebuah mata kuliah jurusan, disebelah kananku adalah tempat duduk Wibis. Wibis belum datang, dan aku tidak tahu harus bersikap bagaimana saat Wibis duduk disebelahku nanti. Aku tidak boleh menginstruksikan pikiranku untuk menjauhi atau mendiamkan Wibis, bersikaplah ramah seperti biasa padanya.
Wibis datang, duduk disebelah kananku dan cepat saja Ia menulis di selembar kertas, lalu ia berikan kertas itu padaku.
Stuck in the midpoint between friends and lovers,
Like an un-riped fruit dreaming about the day of harvest
Because of being unable to move one more step forward
What's causing this frustration baby?
When you say thank you to me,
For some reason it hurts,
That doesn't get undone even after the good bye.
A hint of bitterness
Aku merasa, cukup bahkan sangat berdosa. Ia masih tetap pada pendiriannya. Bagaimana, apa ketidak ikhlasan ini akan berbuah kebahagiaan. Kesal rasanya, kata-kata itu lebih menusuk dari penolakanku kemarin. Cukup, aku harus membalas isi kertas yang Wibis berikan kepadaku.
Kalau kamu memang tetap pada pendirian itu, jangan pernah kecewa karena memilih aku sebagai orang yang kau sukai !
Hari ini, sampai seterusnya. Aku hanya ingin diam dihadapannya dan berharap bangku Wibis menjadi sebuah kursi kosong. Ia yang memaksaku.
---
Pada permulaannya, kursi itu benar-benar kosong
Baiklah para hadirin, marilah kita dengarkan pembukaan yayasan dari ketua yayasan Kanker Kasih Ibu, Kepada Bapak ketua, kami persilahkan
Seorang Pria berkumis tipis berdiri diatas panggung, memegang mikrofon dan memulai memberikan sambutan pada tamu undangan yang hadir. Rasa penasaranku semakin bertambah dengan bersendernya aku pada kursi di gedung ini, sejak kapan aku bergabung menjadi relawan atau memberikan donasi pada yayasan yang baru saja dibuka dengan sambutannya, diingat pun aku tidak dapat mengingatnya. Memang kalau mau dihubungkan dengan pekerjaanku sekarang, aku adalah seorang dokter spesialis anak, dokter umum biasa yang merawat dan mengobati pasien dalam kategori anak-anak. Dan aku berhenti lalu menutup lembaran perkuliahanku di tanah air saat pertengahan semester 5, karena saat itu pikirku adalah pendidikan kedokteran di luar negeri lebih baik daripada di negeri sendiri. Masa itu sudah terlewat 8 tahun yang lalu olehku. Separuh memori perjalanan hidupku di tanah air tidak dapat kuingat kembali. Bulan ini, rasanya rindu pada tanah air tak terbendung lagi, kuputuskan untuk pulang, dan ternyata aku mendapat undangan untuk menghadiri acara yang sedang kuhadiri.
Atau acara ini merupakan acara dari kolega Ayah yang memang pekerjaannya sama dibidang kedokteran sepertiku, tapi mengapa beliau tidak datang?
Kursi ini, tidak jadi kosong...
Kaget, mendengar suara yang jelas ingat. Suara seorang sahabat yang tidak kuketahui kabarnya dalam tahun terakhir. Cepat saja aku berbalik badan, dan menemui tubuhnya, tubuh yang disangga oleh kursi roda.
Gina, lama tidak berjumpa. Bagaimana kabarmu sekarang? Tanyanya masih ramah, sama seperti saat kuliah dulu.
Aku baik, Wibis sendiri bagaimana kabarnya? Jawabku singkat karena kedua mataku terpaku melihat ke arah tubuhnya. Ringkih, namun berusaha terlihat bugar.
Hari ini, aku merasa sangat baik, bahkan baik sekali. Aku pikir kamu tidak akan datang menghadiri undangan pembukaan yayasanku ini. Sederhana memang, tapi semoga memberikan manfaat pada penderita diluar sana
Pipiku terasa basah, dengan derasnya air itu mengalir dari sela bola mataku. Jangan bilang kalau kanker getah bening yang dahulu baru beberapa stadium itu kambuh kembali.
Wi, Wibis, kamu kenapa duduk di kursi roda?
Tidak kenapa-napa kok, santai saja. Ngomong-ngomong sekarang aku sudah dewasa lho, gak lebay kayak dulu
Masih saja Wibis ingat saat-saat itu, mungkin sekarang adalah waktu yang tepat. Kapan lagi aku akan meminta maaf padannya karena kejadian itu. Minggu depan waktu liburanku habis, dan aku harus kembali ke tempat menetapku.
Wibis, aku minta maaf ya...
---
Sore ini dan sore selanjutnya, sebelum matahari benar-benar tenggelam di peraduannya. Ada seonggok tanah menyembul bertancapkan sebuah batu yang terukir nama, disana terbaring seseorang yang tiba-tiba saja pergi. Berteriaklah jika waktu dapat diputar untuk sebuah rasa penyesalan, tapi tidak, semua memang berjalan pada rotasinya. Ia pergi benar benar pergi, hampa kosong.
Apa Ia memaafkan kejadian kemarin?
Aku tetap saja tidak bisa menerima hatinya, kami hanya dua insan yang dipertemukan untuk menjadi sepasang teman, sebutlah sebagai sahabat, tidak lebih. Aku tak tahu apa Ia akan menangis sedih dan kecewa karena perlakuanku, bagaimanapun aku dan dia tetap hanya sepasang sahabat.
Semester 4, lebih beberapa hari. Pantai itu, restoran itu, pernyataan itu, lebihan dua hari itu, sahabat macam apa yang tidak tahu kondisi kesehatan sahabatnya sendiri, ditutup kepergian mendadak, kekalutanku beberapa bulan, aku pindah, tanpa dapat menemukan kebahagiaan sama sekali, karena kosong, baik hatiku, nilai pertemanan beserta kenangan yang citranya bergulir dalam ingatan, haruskah terlontar permintaan maaf? Dan kini, memori itu datang, aku tergerak datang karena undangan dari Ayahmu, yang mendirikan sebuah yayasan karena dulu pernah ada eksistensi dari inti hidupmu, untuk mengenangmu kembali. Aku menghayal, membuat adegan seolah kau datang menanyakan kabarku. Bodohku, harusnya kau datang dengan kemeja dibalut jas rapi dengan senyum tersungging lebar dari bibir coklat mudamu...
.... Dan kata maaf itu, seharusnya dapat sampai disisi kanan telingamu, walau aku tidak dapat mendengar jawaban....
FIN~
P.S.... setelah karatan tidak menulis untuk waktu yang cukup sebentar *lama-woy, ditambah ide absurd. Cerita gaje ini saya post kesini, maafkan saya :sip: #saya-nulis-apaaaaaa #gulung-gulung